Blog dr.Eki

254px-sitagliptinsvg

Sitagliptin (INN; previously identified as MK-0431, trade name Januvia) is an oral antihyperglycemic (anti-diabetic drug) of the dipeptidyl peptidase-4 (DPP-4) inhibitor class, Sitagliptin being the only 2nd Generation DPP4 inhibitor currently available. This enzyme-inhibiting drug is used either alone or in combination with other oral antihyperglycemic agents (such as metformin or a thiazolidinedione) for treatment of diabetes mellitus type 2. The benefit of this medicine is its lower side-effects (e.g., less hypoglycemia, less weight gain) in the control of blood glucose values. Exenatide/Byetta is an alternative drug that also works with the incretin system.

Adverse effects
In clinical trials, adverse effects were as common with sitagliptin (whether used alone or with metformin or pioglitazone) as they were with placebo, except for extremely rare nausea and common cold-like symptoms..[2] There is no significant difference in the occurrence of hypoglycemia between placebo and sitagliptin.[2]

History
Sitagliptin was approved by the U.S. Food and Drug Administration (FDA) on October 17, 2006[3] and is marketed in the US as Januvia by Merck & Co. On April 2, 2007, the FDA approved an oral combination of sitagliptin and metformin marketed in the US as Janumet.

Mechanism

See also: Dipeptidyl peptidase-4 inhibitors

Sitagliptin works to competitively inhibit the enzyme dipeptidyl peptidase 4 (DPP-4). This enzyme breaks down the incretins GLP-1 and GIP, gastrointestinal hormones that are released in response to a meal.[4] By preventing GLP-1 and GIP inactivation, GLP-1 and GIP are able to potentiate the secretion of insulin and suppress the release of glucagon by the pancreas. This drives blood glucose levels towards normal. As the blood glucose level approaches normal, the amounts of insulin released and glucagon suppressed diminishes thus tending to prevent an “overshoot” and subsequent low blood sugar (hypoglycemia) which is seen with some other oral hypoglycemic agents.

Source : wikipedia.org

Terapi Insulin untuk Pasien DM Rawat Jalan

A. Indikasi terapi insulin untuk pasien DM rawat jalan

Masih terdapatnya beberapa kendala penggunaan insulin oleh dokter umum,sering
menyebabkan keterlambatan kendali glukosa darah yang baik bagi pasien diabetes melitus. Pasien DM Tipe 2 (DMT2) yang memiliki kontrol glukosa darah yang tidak baik dengan penggunaan obat antidiabetik oral perlu dipertimbangkan untuk penambahan insulin sebagai terapi kombinasi dengan obat oral atau insulin tunggal.
Insulin yang diberikan lebih dini dan lebih agresif menunjukkan hasil klinis yang lebih baik terutama berkaitan dengan masalah glukotoksisitas.Hal tersebut diperlihatkan oleh perbaikan fungsi sel beta pankreas. Insulin juga memiliki efek lain yang menguntungkan dalam kaitannya dengan komplikasi DM. Terapi insulin dapat mencegah kerusakan endotel,menekan proses inflamasi, mengurangi kejadian apoptosis,dan memperbaiki profil lipid. Dengan demikian,secara ringkas dapat dikatakan bahwa luaran klinis pasien yang diberikan terapi insulin akan lebih baik. Insulin, terutama insulin analog, merupakan jenis yang baik karena memiliki profil sekresi yang sangat mendekati pola sekresi insulin normal atau fisiologis.
Pada awalnya,terapi insulin hanya ditujukan bagi pasien diabetes melitus tipe 1 (DMT1), namun demikian pada kenyataannya, insulin lebih banyak digunakan oleh pasien DMT2 karena prevalensi DMT2 jauh lebih banyak dibandingkan DMT1.
Terapi insulin pada DMT2 dapat dimulai antara lain untuk pasien dengan kegagalan terapi oral,kendali kadar glukosa darah yang buruk (A1c > 7,5 % atau kadar glukosa darah puasa > 250 mg/dl), riwayat pankreatektomi atau disfungsi pankreas, riwayat fluktuasi kadar glukosa darah yang lebar, riwayat ketoasidosis, riwayat penggunaan insulin lebih dari 5 tahun dan penyandang DM lebih dari 10 tahun.

B. Memulai dan alur pemberian insulin

Pada pasien DMT1, pemberian insulin yang dianjurkan adalah injeksi harian multipel dengan tujuan mencapai kendali kadar glukosa darah yang baik. Selain itu, pemberian dapat juga dilakukan dengan menggunakan pompa insulin (continous subcutaneous insulin infusion, CSII).
Setiap pusat pelayanan memiliki alur terapi diabetes dan mula awal terapi insulin yang berbeda untuk para pasien DMT2. Alur yang dibuat oleh kesepakatan antara American Diabetes Association (ADA) dan European Association for the Study of Diabetes (EASD) yang dipublikasikan pada bulan Agustus 2006 dapat dipakai sebagai salah satu acuan.
Ada beberapa cara untuk memulai dan menyesuaikan dosis terapi insulin untuk pasien DMT2. Salah satu cara yang paling mutakhir dan dapat dipakai sebagai acuan adalah hasil Konsensus PERKENI 2006 dan Konsensus ADA-EASD tahun 2006. Sebagai pegangan, jika kadar glucosa darah tidak terkontrol dengan baik (A1C>7,5%) dalam jangka waktu 3 bulan dengan 2 obat oral, maka sudah ada indikasi untuk memulai terapi kombinasi obat antidiabetik oral dan insulin.
Pada keadaan tertentu dimana kendali glikemik Amat buruk dan disertai kondisi katabolisme, seperti kadar glucosa darah puasa > 250 mg/dl,kadar glucosa darah acak menetap > 300 mg/dl, A1C > 10 %, atau ditemukan ketonuria,maka terapi insulin dapat mulai diberikan bersamaan dengan intervensi pola hidup. Selain itu,terapi insulin juga dapat langsung diberikan pada pasien DM yang memiliki gejala nyata (poliuri,polifagia dan penurunan berat badan). Kondisi-kondisi tersebut sering ditemukan pada pasien DMT1 atau DMT2 dengan defisiensi insulin yang berat. Apabila gejala hilang, obat antidiabetik oral dapat ditambahkan dan penggunaan insulin dapat dihentikan.
Seperti telah diketahui,pada pasien DM terjadi gangguan sekresi insulin basal dan prandial untuk mempertahankan kadar glucosa darah dalam batas normal baik pada keadaan puasa maupun setelah makan. Dengan demikian bahwa hakikat pengobatan DM hádala menurunkan kadar glucosa darah baik puasa maupun setelah makan.
Dalam rangka mencapai sasaran pengobatan yang baik, maka diperlukan insulin dengan karakteristik menyerupai orang sehat, yaitu kadar insulin yang sesuai dengan kebutuhan basal dan prandial. Pemberian insulin basal,selain insulin prandial,merupakan salah satu strategi pengobatan untuk memperbaiki kadar glucosa darah puasa atau sebelum makan. Oleh karena glucosa darah setelah makan merupakan keadaan yang dipengaruhi oleh kadar glucosa darah puasa, maka diharapkan dengan menurunkan kadar glucosa darah basal, kadar glucosa darah setelah makan juga ikut turun.
Cara pemberian insulin basal dapat dilakukan dengan pemberian insulin kerja cepat drip intravena (hanya dilakukan pada pasien rawat inap), atau dengan pemberian insulin kerja panjang secara subkutan. Jenis insulin kerja panjang yang tersedia di Indonesia saat ini adalah salah satunya insulin detemir (nama patennya Levemir flexpen dari Novo).
Idealnya,sesuai dengan keadaan fisiologis tubuh, terapi insulin diberikan sekali untuk kebutuhan basal dan tiga kali dengan insulin prandial untuk kebutuhan setelah makan. Namun demikian,terapi insulin yang diberikan dapat divariasikan sesuai dengan kenyamanan penderita selama terapi insulin mendekati kebutuhan fisiologis. Walaupun banyak cara yang dapat dianjurkan, Namur prinsip dasarnya adalah sama; yaitu insulin prandial dikombinasikan dengan insulin basal dalam usaha untuk menirukan sekresi insulin fisiologis.

Sumber: PERKENI. Petunjuk Praktis. Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Melitus. Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit DalamFKUI,Yakarta,2008. Hal. 9-12.

Klik tertinggi

  • Tidak ada