Blog dr.Eki

Musik Klasik dan Autism

Posted on: November 1, 2008

Musik Klasik dan Autisme
Ada beberapa hal yang menyebabkan saya pribadi memiliki “kecurigaan
ilmiah” tentang adanya kemungkinan keterkaitan antara gejala autisme
dengan efek Mozart ataupun musik klasik secara umum. Hal-hal tersebut
antara lain adalah:
1. Jumlah penyandang autisme di Amerika bertambah pesat, khususnya
selama 10 tahun terakhir (Lihat
http://libnt2.lib.tcu.edu/staff/lruede/shame.html). Peningkatan ada di
semua negara bagian. Yang cukup menarik adalah adanya indikasi bahwa
meningkatnya kenaikan jumlah penderita autisme tersebut dekat dengan
tahun-tahun awal dimana penelitian Frances Rauscher, Gordon Shaw, dan
Katherine Ky tentang pengaruh musik klasik (Mozart) terhadap
kecerdasan mulai dipublikasikan dan mendapat banyak respons positif
dari masyarakat di sana.
2. Secara teoritis, memperdengarkan musik klasik (Mozart) ketika bayi
masih dalam kandungan maupun pada awal-awal pertumbuhannya, bukan
tidak mungkin akan lebih menstimulasi otak bagian kanan (yang
berkaitan dengan masalah artistik dan estetika). Keseimbangan
pertumbuhan dan perkembangan antara otak bagian kiri dengan bagian
kanan mungkin menjadi tidak seimbang. Apalagi kalau diperdengarkannya
dengan intensitas yang sangat tinggi. Dalam penelitian Frances
Rauscher, Gordon Shaw, dan Katherine Ky, musik Mozart hanya
diperdengarkan selama beberapa menit saja.
3. Daya tarik komposisi musik dan intensitas memperdengarkannya
menyebabkan efek berlebih pada si janin/anak. Yang saya maksud daya
tarik komposisi adalah ketika seseorang memainkan atau mendengarkan
suatu karya musik klasik, secara sadar tak sadar akan dapat larut pada
penghayatan akan komposisi tersebut, yang menyebabkan perhatian ke
lingkungan sekitar menjadi agak berkurang. Hal ini mungkin juga
terjadi pada janin/bayi. Apabila intensitas memperdengarkannya cukup
tinggi, janin (?) atau anak menjadi lebih terbiasa berkonsentrasi pada
penghayatannya tersebut (atau hal-hal tertentu saja), ketimbangan
dengan lingkungan sekitarnya. Ini merupakan salah satu gejala autisme.
Hal ini pulalah yang kiranya dapat menjelaskan mengapa penderita
autisme tetap bisa menjadi pemusik atau seniman handal model Steven
Sandjaja (pianis) atau model Jeff Isac Timotiwu yang meraih
penghargaan International Poet of Merit 2000.
4. Musik klasik yang diperdengarkan bukannya menimbulkan efek
relaksasi atau menjadi sesuatu yang menyenangkan bagi si ibu,
melainkan menjadi stressor dengan berbagai gradasi. Hal ini sangat
mungkin terjadi apabila si ibu yang bersangkutan tidak dapat karena
berbagai hal tidak menyenangi atau tidak dapat menikmati musik klasik.
Contoh ekstrimnya, misalnya adalah ibu-ibu di Indonesia yang lebih
suka dan terbiasa mendengar lagu berirama keroncong atau dangdut.
Kalau di amerika sana, mungkin ibu-ibu yang senang musik berirama
latin & soul misalnya. Nah stress yang timbul inilah yang mungkin
mempengaruhi perkembangan janin, sebagaimana hasil penelitian yang
dilakukan di Ohio tersebut di atas.
Walaupun saya memiliki “kecurigaan ilmiah” sebagaimana tersebut di
atas, namun sejauh pengetahuan saya, belum ada penelitian/data yang
mendukung tentang hal tersebut. Justru hal inilah yang mungkin cukup
menarik untuk diteliti lebih lanjut. Saya pribadi, masih punya
perkiraan bahwa jika dapat dikembangkan materi yang tepat (tidak harus
selalu musik klasik, apalagi terfokus ke Mozart) dan disusun prosedur
yang tepat (waktu dan intensitas memperdengarkannya), musik mungkin
memiliki pengaruh terhadap beberapa aspek dalam diri manusia,
khususnya dari segi emosional. Dan sisi emosional inilah yang secara
langsung maupun tak langsung akan mempengaruhi optimal-tidaknya
potensi seseorang diwujudkan dalam bentuk prestasi (performance). Dan
untuk itu, faktor minat, latar belakang dan budaya akan memegang
pengaruh yang cukup besar.
Bahkan mungkin dapat dikembangkan secara bertanggungjawab, materi dan
prosedur untuk menstimulasi otak penderita autisme agar lebih ada
keseimbangan antara bagian kiri dengan bagian kanan. Khusus mengenai
hal ini, beberapa ahli sudah mulai mengembangkan terapi musik untuk
membantu pertumbuhan dan perkembangan anak-anak autisme, namun sejauh
pengetahuan saya sifatnya masih kasuistik. Belum ada data yang cukup
memadai secara ilmiah.
Bagi saya pribadi, tidak menjadi persoalan apakah musik klasik
berpengaruh terhadap kecerdasan atau tidak. Ada pengaruhnya bagus,
tidak ada juga tidak apa-apa. Bagi saya, yang penting apapun yang
dikemukakan dan dibahas kiranya “tidak menjerumuskan” secara langsung
maupun tak langsung, secara sadar maupun tak sadar, orang-orang lain
yang seringkali secara “lugu” mengikuti apa yang dikemukakan oleh
“pakar” atau “ahli”.
Untuk itu, dibutuhkan obyektifitas untuk dapat
memandang dan memberikan pandangan dari berbagai sisi, bukan hanya
dari satu sisi saja.
Walaupun dikatakan bahwa kerusakan sel yang diderita oleh penderita
autisme pada hakikatnya tidak dapat disembuhkan, saya sih tetap
yakin bahwa DIA adalah dokter di atas segala dokter, yang lebih dari
mampu untuk menyembuhkan penderita autisme. Wong yang secara medis
saja dokter sudah bilang tidak ada harapan hidup lagi, ternyata sampai
sekarang masih hidup koq .
Mudah-mudahan tulisan ini ada gunanya …
Dikutip dari sebuah jurnal yg tersimpan pada website dan mohon maaf saya lupa alamat situsnya.

Tag:

1 Response to "Musik Klasik dan Autism"

Copas ye dok..
Kebetulan, oc lagi bikin pBR tentang autism..
Tengkyuu.. Tengkyuu..

Tinggalkan komentar

Klik tertinggi

  • Tidak ada